Rabu, 26 September 2012

UPACARA ‘TULÃ AHAR’

--> -->

Ahar adalah upacara inisiasi  adat yang diselenggarakan di desa Watuwawer. Upacara ini merupakan ritual adat  yang  diwajibkan secara turun temurun bagi  setiap anak sulung.  Adalah menjadi keharusan bagi setiap keluarga baru yang telah melahirkan anak pertama agar menghantar anak tersebut ke rumah adat guna dimandikan (Temu Wei Aheren).

Seorang wanita sejak resmi menjadi pasangan hidup seorang pria dari desa Watuwawer (Ahar tu),  otomatis diikat oleh aturan adat (uhur ahar) ini dan harus patuh di bawah pantangan-pantangan adat, yakni pantang terhadap jenis makanan tertentu dan patuh pada   tata krama tertentu.

Pelanggaran terhadap pantangan dan aturan tatakrama akan berakibat keluarga tidak sehat, khususnya ibu dan anak akan mudah terserang penyakit, dapat menderita penyakit kulit tertentu, rambut gugur dan gangguan kesehatan yang lain.

 Fungsi Upacara Ahar
   
a. Fungsi Inisiasi: anak diterima sebagai warga suku.
b. Fungsi  Penyembuhan: bagi ibu dan anak yang kurang sehat atau menderita
     penyakit karena melanggar aturan ahar dan tata krama akan memperoleh
     kesembuhan.
c. Fungsi Syukur:  upacara ini merupakan wujud ungkapan syukur keluarga baru 
    atas penyelenggaraa 
    Sang Khalik - Lera Wulan Tana Ekan melalui para leluhur.
d. Fungsi Persatuan: dengan menggelar upacara ini tercipta kebersamaan antara 
    warga masyarakat.
 e. Fungsi Cinta Kampung Halaman: keluarga yang merantau atau bekerja di luar
    daerah terpanggil pulang ke kampung guna menyelenggarakan upacara ini.

 Ritual Ahar

1. Ritual Tobe Tar Elor: Sebagai upacara menyampaikan kepada leluhur bahwa ibu  
    dan anak dari keluarga terkait akan dihantar memasuki rumah adat guna  mene-
    rima permandian adat. (Temu Wei Aheren)

2. Ritual Beraweye Gewei : Dalam upacara ini semua ibu dan anak peserta upacara
    masuk ke dalam rumah adat, namun hanya ‘ina beneren’ (Peserta Utama)
    yang tinggal selama dua hari. Keesokan malamnya ‘beroweye beneren’
    peserta tambahan utama menyusul masuk dan tinggal untuk menunggu upacara 
    keesokan harinya.

3. Ritual Beraweye Dopai : Ibu dan anak keluar dari rumah adat sekaligus  menjalani
    upacara mandi adat.  Ini merupakan ritual puncak yang dirayakan secara  meriah.

4. Ritual Hemelung Ketane: Merupakan ritual penutup untuk mengakhiri  keseluruhan
    upacara ahar di mana pada ritual penutup ini air adat akan dihabiskan dengan meman-
    dikan ibu dan anak peserta upacara dan  anggota keluarga yang membutuhkan berkat
    atau mengharapkan penyembuhan.

   Setiap ritual diselenggarakan dengan selang waktu hitungan hari genap.

Peserta Upacara Ahar

1. Beneren (peserta utama): ialah ibu dan anak dari keluarga yang mengambil inisiatif 
    untuk menyelenggarakan upacara ahar dalam musim terkait.

2. Beroweyen (peserta tambahan): ialah ibu dan anak yang  ikut serta bergabung   
    dengan beneren dalam upacara ahar. Beroweyen biasanya merupakan ibu-ibu
    dari suku  yang sama atau warga desa yang  ikut  menjadi peserta alam  upacara ahar.

3. Beroweye Beneren (peserta tambahan utama): Apabila ada lebih dari 3 ibu  yang 
    mengikuti upacara maka salah satu ibu menjadi beroweye beneren.

 Pantangan-pantangan

a. Makanan: Jenis makanan yang tidak boleh dimakan kalau belum melaksanakan 
   upacara ahar ialah: Kacang ijo (wewe), ubi jalar (hura jawan),  madu (blaner), 
   kunyit (kumaha), semangka (timung), oyong (triabla),  jamur (kepiw). Dan jenis
   ikan tertentu yang menurut bahasa daerah disebut teaw dan bawo.

b.Tata krama:
    1.Tidak boleh makan sambil jalan atau berdiri
    2.Tidak boleh menyanyi dan menari
    3.Tidak boleh membiarkan rambut terurai bebas.
    4.Tidak boleh mengenakan anting dan hiasan-hiasan lainnya.
    5. Menghindari tingkah laku yang tidak baik; bertengkar, berkelahi, mencuri, 
        dan sebagainya.

 Ramuan Air  Adat

Ramuan utama ialah Hemelung, sejenis tanaman perdu yang  darinya akan diambil
7 helai daun, dicampur dengan beberapa bahan  lainnya   yang akan digunakan untuk 
memandikan  anak dan ibu  peserta upacara ahar.

Pohon ini  tumbuh di Nuba, sebuah tempat   keramat di tengah kampung  Watuwawer.
Pemetikan daun ini dilakukan melalui ritual “Ua Hemelung”. Ritual ini disebut demikian
karena tatacara pemetikan daun dilakukan melalui suatu komunikasi antara seorang 
ibu dari suku yang suaminya diberi jabatan  sebagai “Mi Tuak”. Apabila pada saat 
Ua hemelung jika terdapat semua helai  daun utuh, ini merupakan pertanda
bahwa para ibu peserta upacara telah mentaati aturan-aturan adat dengan baik.
Sebaliknya bila terdapat helai  daun yang berlubang atau keropos, pertanda para ibu
telah melanggar adat.

Apabila hal ini terjadi sementara memetik pucuk yang tidak utuh merupakan tabu, maka
ibu yang bertugas memetik pucuk hemelung ini harus kembali ke rumah adat di mana
sang ibu dan anak yang dipingit selama dua hari dimarahi dengan kata-kata kasar sampai 
pucuk daun menjadi utuh kembali baru dipetik. Pelanggaran ‘uhur –ahar’  bila
 cukup serius sering membuat ritual Ua Hemelung berlangsung berjam-jam.

Pucuk yang utuh setelah dipetik akan diarak beramai ramai ke rumah adat.
Di sana seluruh pemangku adat (Kepitaye-kebeleye) sedang menunggu untuk 
melangsungkan upacara Bereweye Dopai.

Menarikan Anak (Hama Etiken).

Upacara inti dari Beraweye dopai  ialah menarikan anak.(Hama etiken). Ibu dan anak peserta upacara di bawah keluar rumah adat dengan berdandan pakaian adat dan berkumpul di depan rumah adat untuk ditarikan di atas sebuah balai-balai yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut.

Pada saat bersamaan lagu syair diulangi dengan menyebut nama semua anak peserta upacara, sambil mereka dimandikan dengan air adat.Air adat ini tidak dikhususkan bagi anak tapi juga ibunya, ayahnya dan siapa saja yang mungkin mengharapkan kesembuhan dari suatu peyakit. Acara kemudian dilanjutkan dengan makan bersama secara adat dan ditutup dengan pagelaran tarian rakyat  “Kolewalan”.
***

Minggu, 16 September 2012

PEMBANGUNAN LOKASI RUMAH ADAT

-->
-->











































































Sabtu, 15 September 2012

DOKUMENTASI

-->









































































































Senandung Syukur!



Unarajan Luwa Nujan
Kami menghaturkan sembah pujian
dan syukur ke Hadirat-Mu Allah Yang Mahaluhur.
Kami bersyukur kepada-Mu karena melalui Engkau, 
para leluhur kami telah menggali nilai-nilai budaya dan adat istiadat 
yang tetap terpelihara mengikuti arus zaman, sejak ratusan tahun yang lalu.

Kami bersyukur kepada-Mu, karena melalui prasarana dan sarana
mereka membahasakan nilai-nilai itu
dalam simbol-simbol untuk mengungkapkan kehadiranMu
dan TuntunanMu yang tetap relevan sepanjang zaman.

Kami bersyukur atas para leluhur kami
yang di masa lalu mereka tergolong masih primitif
tetapi bimbinganMu mereka dengarkan
Mereka bahasakan dalam syair sederhana
yang dapat dipahami para pendengarnya

Kami bersyukur atas tanda-tanda dalam aneka simbol
Yang berisi tuntunan nasihat
Agar berperilaku secara bijak kepada
sesama manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Mereka tidak mengajar kami dengan warisan fana
melainkan warisan baka yang senantiasa menjiwai kami.
Maka, di sini, di Una rajan Luwa Nujan ini,
selalu didendangkan Senandung Syukur
Untuk memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu
ya Allah Yang Mahaluhur.

Rumah adat  “Lejap” di desa Watuwawer merupakan salah satu rumah adat yang ditetapkan sebagai situs budaya di provinsi Nusa tenggara Timur. Untuk itu oleh Gubernur NTT telah ditetapkan seorang juru pelihara yaitu Nikolaus Dua Lejap yang dikukuhkan dengan SK gubernur NTT Nomor:20/KEP/HK/2012 Tentang Juru Pelihara Obyek Cagar Budaya dan Situs yang berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2012.

Rumah adat ini merupakan warisan leluhur yang dibangun dengan  semata-mata menggunakan bahan local. Keberadaan rumah adat sendiri   sudah berusia ratusan tahun dan terus dipugar dalam kurun waktu tertentu. Konon mulanya lokasi rumah adat berada di bukit di tengah desa Watuwawer, namun setelah masuknya agama katolik, lokasi ini diserahkan kepada gereja dan rumah adat dipindahkan ke tempatnya sekarang ini.

Di rumah adat ini tersimpan peninggalan leluhur berupa gading dan peralatan upacara adat lainnya. Jumlah gading sebanyak 5 batang dengan nama masing-masing yakni Bala Gelete Woloi, Bala Gilo, Bala Kobu, Bala Latan dan Bala Kleru Mal.

Rumah adat ini merupakan pusat penyelenggaraan upacara “Ahar” dan Upacara “Tun Kwar” yang menjadi ajang berkumpul kembalinya segenap warga suku bahkan segenap warga kampung Watuwawer.
***