Kamis, 25 Oktober 2012
Senin, 08 Oktober 2012
“AHAR “ SEBAGAI DIALOG IMAN DAN BUDAYA KHAS ORANG WATUWAWER (Sebuah Kajian Kultis)
-->
Oleh : Belamun Fr. Radja Ledjab, HHK
Fungsi Ahar
Saya
mengawali sebuah kajian singkat ini dengan mengutip tulisan pada blog unarajan.
Ahar adalah upacara inisiasi adat yang diselenggarakan di
desa Watuwawer. Upacara ini merupakan ritual adat yang
diwajibkan secara turun temurun bagi
setiap anak sulung. Adalah menjadi keharusan bagi setiap keluarga baru
yang telah melahirkan anak pertama agar menghantar anak tersebut ke rumah adat
guna dimandikan (Temu Wei Aheren).
Gading di dalam Una rajan |
Seorang wanita sejak resmi menjadi pasangan hidup seorang pria dari desa
Watuwawer (Ahar tu),
otomatis diikat oleh aturan adat (uhur
ahar) ini dan harus patuh di bawah pantangan-pantangan adat, yakni
pantang terhadap jenis makanan tertentu dan patuh pada tatakrama tertentu.
Pelanggaran terhadap pantangan dan aturan tatakrama akan berakibat keluarga
tidak sehat, khususnya ibu dan anak akan mudah terserang penyakit, dapat
menderita penyakit kulit tertentu, rambut gugur dan gangguan kesehatan yang
lain.
Fungsi Upacara Ahar : a) Fungsi Inisiasi: anak diterima sebagai warga suku. b) Fungsi Penyembuhan:
bagi ibu dan anak yang kurang sehat atau menderita penyakit karena
melanggar aturan ahar dan tata krama akan memperoleh kesembuhan. c) Fungsi Syukur: upacara ini
merupakan wujud ungkapan syukur keluarga baru atas penyelenggaraan Sang
Khalik - Lera Wulan Tana Ekan melalui para leluhur. d) Fungsi Persatuan: dengan
menggelar upacara ini tercipta kebersamaan antara warga masyarakat. e) Fungsi Cinta Kampung Halaman:
keluarga yang merantau atau bekerja di luar daerah terpanggil pulang ke kampung
guna menyelenggarakan upacara ini.
Ahar Sebuah Konsepsi Kultis
Kutipan di atas membuka cakrawala kesadaran dan
pengetahuan kita akan urgennya sebuah ritual adat yang merupakan “pusaka”
warisan leluhur yang tetap hidup hingga saat ini yang disebut pemiliknya, orang
Watuwawer dengan nama ahar.
Ahar hadir dan ada serta secara tegas
menuturkan bahwa “ia’ adalah sebuah warisan leluhur yang mengandung nilai-nilai
sebagai keadaban dalam mengatur hidup dan kehidupan. Dari titik ini saya
meyakini untuk berani mengatakan bahwa ahar
adalah sebuah konsepsi
kultis pengembangan nilai-nilai hidup dalam budaya lokal (orang Watuwawer)
melalui pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek
kehidupan secara utuh dan terpadu
bagi masyarakat adatnya berlandaskan pada norma-norma adat itu sendiri
sesuai dengan fungsi dan cita-cita ahar
itu sendiri.
Ahar sebagai sebuah konsep kultural merupakan pengetahuan,
tatacara kita (orang Watuwawer) yang menjadi cermin bagi massa depan dalam menata
hidup sebagai sebuah konfigurasi tingkah laku dan hasil laku yang unsur-unsur
pembentuknya dipelihara, didukung, diwariskan turun temurun sejak leluhur kita
ada hingga kita sekarang ini.
Ahar sebagai
sebuah konsep kultur merupakan keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan,
moral, kepercayaan, seni, hukum, dan utamanya adalah adat yang kita miliki.
Milik kita ini adalah sebagai sebuah produk dalam himpunan ide, sikap,
kebiasaan dan sebagai aturan yang disusun oleh leluhur untuk menolong diri mereka
dan keturunannya kelak (kita sekarang ini) dalam tingkah laku dan hidup harian.
Ahar sebagai sebuah konsep kultur
adalah model hidup yang di dalamnya kita dapat menyesuaikan diri kepada
lingkungan fisik, sosial, dan ideasional, yang menjadi norma menurut mana
seorang berada untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sahabat di sekitarnya.
Ahar Sebagai Kekayaan Iman dan Kebudayaan
Orang Watuwawer
Konsili
Vatikan II (KV-II) mengungkapkan dengan lugas bahwa Gereja menyatakan
kesadarannya untuk memperbaharui diri dalam peranan dan hubungannya dengan
dunia dewasa ini. Salah satu tanda pembaharuan diri Gereja antara lain tampak
dalam pernyataan mengenai interaksi antara agama dan budaya yang tampak dalam
dokumen Gaudeum et Spes ini:
“Pada umumnya
dengan istilah “kebudayaan” dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk
menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat pembawaan jiwa-raganya. Ia
berusaha menguasai alam semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia
menjadikan kehidupan sosial, dalam keluarga maupun dalam masyarakat, lebih
manusiawi melalui tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa
ia mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani
serta aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi
banyak orang, bahkan segenap umat manusia...........................Begitulah
tata cara yan diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap
masyarakat manusia. Begitu pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan
coraknya sendiri, yang menampung manusia dari zaman manapun dan yang menjadi
sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat”(GS
53).
Dalam
gambaran tentang apa yang disebut kebudayaan tampak suatu kenyataan bahwa
manusia yang menciptakan kebudayaan bagi dirinya sendiri dan bagi serta dalam
masyarakat. Dalam makna di atas, sekali lagi Ahar hadir dan ada sebagai
sebuah sarana dan wahana aspirasi warisan pusaka agung yang kaya akan
nilai-nilai yang khas sebagai humaniora dan penyempurna hidup. Maka semakin
jelas, menurut hemat saya, Ahar merupakan
“cara” leluhur mengkomunikasikan atau mendialogkan nilai-nilai iman akan Allah
(Lera Wulan Tana Ekan) secara kontekstual
dari zaman ke zaman melalui fungsi-fungsinya.
Demikianlah bahwa misteri Kerajaan Allah akan
tersingkap ketika orang masuk dan tinggal di dalamnya. Iman kita mengenal
sakramen dan dalam hal ini adalah sakramen inisiasi. Dalam bahasa Ahar disebut Temu Wei Aheren (dimandikan/dibabtis secara adat) memiliki
dimensi yang sama dengan ajaran iman yang berarti disucikan/dibersihkan agar ia
diperkenankan masuk dalam persekutuan. Relevensinya adalah Kitab Suci
Perjanjian Lama tradisi bangsa Yahudi yang menggunakan air sebagai lambang
penyucian diri seperti bertamu ke rumah orang harus terlebih dahulu membasu
kaki dan tangan sebelum masuk ke dalam rumah, dan masih banyak kisah yang lain.
Perjanjian Baru juga demikian menggunakan air sebagai sarana penyucian diri.
Tengoklah kisah pembabtisan Yesus oleh Yohanes di Sungai Yordan (Mat 3:1-17).
Melalui pembabtisan, Yesus diterima oleh Bapa yang memperkenankan diriNya untuk
mewartakan Kerajaan Allah, BapaNya.
Inisiasi Ahar memiliki makna yang
demikian di mana seseorang diterima masuk dalam persekutuan (suku) dan menjadi
bagian dalam persekutuan itu. Kitab Suci membahasakannya dengan “masuk dalam
persekutuan anak-anak Allah”. Masuk dalam persekutuan berarti masuk di dalam
misteri yang imanen untuk mengerti kehendak Allah menjadikan manusia lebih manuasiawi dalam
berelasi, bertutur kata, bertingkah laku, dan mengatur pola hidup yang selalu
bersyukur kepada Sang Pemberi kehidupan, Lera
Wulan Tana Ekan yang transenden namun terasa dekat untuk disapa, dirasakan,
melalui para leluhur.
Yesus dibaptis |
Seperti halnya Kristus yang datang untuk menyelamatkan,
mewartakan kabar gembira dari Allah, menyatukan yang tercerai berai,
menyembuhkan yang sakit, membuat kusta menjadi tahir, hingga menjadikan
hukum cinta kasih menjadi menang. Demikian halnya Ahar sebagai pemersatu
anak-anak suku yang tercerai berai di mana-mana, untuk datang dan bersatu di
bawah sebuah atap dan satu dalam kata yakni tule
ahar untuk menikmati kebersamaan, sukacita dan syukur karena diselamatkan.
Dalam makna ini Tule Ahar berarti masuk
dan menerima Lera Wulan Tana Ekan yang
mewahyukan dirinya dalam diri Kristus yang rela menjadi manusia untuk dapat
disentuh, digapai, dan yang senasib dengan manusia. Inilah Ahar sebagai sebuah kearifan lokal yang memperkaya budaya sekaligus
memperteguh iman orang-orang Watuwawer akan Leluhur
para Leluhur, Lera Wulan Tana Ekan.
Ahar; Firdaus Baru Orang Watuwawer yang
Mengimani Allah
Ahar dihayati orang Watuwawer dalam
relasi horisontal antar sesama manusia dan relasi vertikal dengan Allah, Lera Wulan Tana Ekan. Hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa dimensi horisontal Ahar
tidak terpisahkan dari dimensi vertikal iman karena Ahar merupakan tatacara dan kewajiban manusia yang dengan manusia
memperoleh tugas supaya atas nama Lera
Wulan Tana Ekan mengolah, mengusahakan, dan melestarikan bumi ciptaan dan
segala isinya demi kesejahteraan hidup bersama. Kitab Kejadian 1:25, dan 2:15
memaktubkan bahwa manusia sesuai dengan martabatnya, ditempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Itulah tugas
manusia di bumi yang dimulai di Firdaus, Taman Eden, sebagai awal kehidupan dan
yang akan berakhir dengan mulia di Yerusalem Baru ( Ibr 12:22, Why 2:1-22:5).
Demikianlah semakin jelas bahwa Ahar
adalah awal dari kehidupan, sebagai "Firdaus Baru" bagi orang Watuwawer dalam
menata, memandang, dan menyusuri dinamika kehidupan dengan segala corak
dimensinya untuk menjadi manusia bermoral, bermartabat, beradat dan beradab.
Sesuai dengan fungsi dan cita-citanya yang
bermartabat, Ahar tidak terpisahkan
dari iman alkitabiah sehingga orientasinya tertuju pada kemuliaan Allah, Lera Wulan Tana Ekan, dan kesejahteraan
hidup umat manusia karena Ahar merupakan
transformasi keadaban hidup yang diberikan oleh Lera Wulan Tana Ekan kepada umatnya untuk dihidupi dan
dipertanggungjawabkan.
Yesus sahabat kanak-kanak |
Oleh karena itu
Ahar tidak lain adalah restorasi iman orang Watuwawer yang konkret dan
dengan Ahar pula menunjukkan bahwa
para leluhur orang Watuwawer telah mengajarkan “cara” berteologi yang
kontekstual dalam ranah pengudusan dan keselamatan jiwa raga. Melalui “cara”
berteologi ini, peristiwa kedatangan Lera
Wulan Tana Ekan di dunia yang
mencakup kelahiran, kehidupan, ajaran, perbuatan, penderitaan yang berpuncak
pada kayu salib dan dimahkotai dengan kebangkitan dan kenaikan Yesus Kristus
adalah penciptaaan kembali manusia di dunia ini dengan segala budaya dan
keberadaannya. Dan, Ahar telah mengambil peran penting dalam ajaran ini yang menerima,
menyatukan dan menguduskan anak-anaknya untuk selalu berada dalam persekutuan
yang hidupnya baik, persekutuan yang selalu bersyukur akan rahmat kehidupan
yang telah diterimanya.
Penutup
Menjalankan
dan menghidupkan Ahar berarti
mempererat jalinan relasi baik dengan sesama (horisontal) maupun dengan Lera Wulan Tana Ekan ( vertikal).
Artinya dengan Ahar iman akan Lera Wulan Tana Ekan semakin di perteguh
karena keduanya merupakan sebuah benang merah yang mengikat satu tujuan. Dengan
Ahar pula Allah mentrasformasikan
dirinya sehingga Ia tidak lagi menjadi transenden namun dapat dijumpai,
dirasakan, dan akrab dengan manusia hasil kreasiNya. Oleh karena itu meremehkan
Ahar apalagi menghilangkannya, sama
saja dengan mengkhianati kemartabatan para leluhur yang berarti pula
mengingkari iman kita akan Allah, Leluhur
para Leluhur.
Maka marilah kita senantiasa melestarikan warisan
budaya leluhur ini yang sungguh kaya akan nilai-nilai hidup yang tidak dimiliki
oleh orang lain. Saya sungguh bahagia dan bangga memiliki adat seperti ini.
Semoga para leluhur dan Lera Wulan Tana
Ekan selalu pada pihak kita yang berkehendak baik. Terima kasih.
Yogyakarta, 29-19-2012
Pada Pesta Para Malaikat Agung
Langganan:
Postingan (Atom)